Apapun yang terjadi, aku adalah aku. Besok, satu tahun, sepuluh tahun bahkan sepuluh abad yang akan datang aku masih tetap aku.
"Bage", nama unik dan kurasa enak di dengar datang kala aku masih SMA. Nama tersebut di pakaikan kepada setiap orang yang tinggal di rumah itu, yang membedakannya hanya panggilan belakangnya saja. Sejak saat itu aku sangat mencintai “ nama panggilan “ tersebut. Bagiku julukan tersebut memiliki makna tersendiri yang dapat mengingatkanku akan kenangan – kenangan indah.
Aku lahir diantara dua saudara cowokku di bulan Agustus, menjadikan aku menyandang bintang Leo. Sebagai seorang anak remaja yang beranjak dewasa seharusnya aku memiliki lebih banyak koleksi dress, daripada celana jeans dan kaos belel.
Penampilan bukanlah hal terpenting bagiku. Bagaikan bingkisan, “ penampilan luar “ hanya akan dapat mengecoh sesaat, dan akan membuat kita mengalami rasa kecewa yang lebih besar ketika kita melihat apa yang di dalamnya tidak sesuai dengan yang di harapkan.
Di kelilingi dengan keluarga, orang yang mencintaiku dan teman – temanku adalah salah satu hadiah yang telah ku terima dari TUHAN. Walaupun DIA telah mengambil salah satu hadiah terindahku.
Sekarang aku telah menjadi mahasiswa dari salah satu universitas di kotaku. Selain menjalankan kewajiban untuk kuliah, aku juga menjadi seorang karyawan di salah satu perusahaan yang bergerak di bidang pendistribusian minyak.
Sederhana dan penuh makna, begitulah yang kugambarkan dalam kehidupanku. Dan aku masih terus bersyukur akan “amplop – amplop” lain yang di berikan TUHAN.
IMPIAN TERAKHIR Kau akan meninggalkan dunia dengan wajah penuh seyum akibat sebuah impian.
- BG-
“Impian”…mungkin inilah yang masih membuat dia untuk terus hidup dan bertahan dari segala keadaan yang ada, hingga akhir.
Ayahku hanya seorang pengrajin besi. Dalam satu tahun, ia bekerja hampir setahun penuh. Bahkan tidak pernah berniat meninggalkan kota di mana ia tinggal. Apa yang menjadi tujuan hidupnya? Tak seorang pun tau akan hal itu. Bagi orang lain dan anak kecil sepertiku, mungkin mengganggap wajar hal itu karena ia memiliki keluarga yang harus di hidupinya.
Tetapi, dalam satu tahun terakhir keadaan ayahku berubah 180 derajat. Ia harus rela kehilangan pekerjaannya akibat penyakit yang di deritanya. Pembengkakkan Jantung. Begitulah vonis yang ia terima dari dokter.
Bangun di pagi hari, makan, minum, mandi menjadi aktivitasnya yang baru hanya untuk sekedar menyambung hidupnya. Matanya menatap kosong ke segala sudut di rumah, tetapi tetap keputus asaan yang ada pada dirinya. Untuk meminum obatnya saja dia perlu mengumpulkan secercah harapan pada dirinya.
Walaupun ia tau harapan untuk melihat anak anaknya bahagia adalah hal yang sangat mustahil bagi penderita seperti dia. Tetapi ia tetap tegar di hadapan kami, anak – anaknya. Ia tidak mau membebani pikiran dan hati kami. Hari – hari selanjutnya menjadi semakin sulit akibat ia mulai kehilangan fungsi tubuhnya. Ia mulai mengalami penurunan berat badan yang drastis.
Hingga suatu hari, ia memutuskan untuk meninggalkan kota di mana ia tinggal dan pergi ke kota lain untuk menemukan semangatnya yang baru. Ia menjalani hari – hari yang baru dengan kegiatan yang baru juga. Aku melihat ada secercah semangat di dalam dirinya. Baguslah pikiru.
Hal itu juga tidak berlangsung lama. Ia kembali ke kota asalnya dimana ia tinggal, Ia kembali dengan semangat baru. Tetapi tidak bagiku. Aku lebih suka menganggapnya “ pelarian “karena dia tidak mampu untuk hidup lebih lama lagi di dalam harapan “ kosong “ dan memilih untuk menghadapi hidupnya dengan sisa – sisa semangatnya.
Kembali ke aktivitas yang membosankan sudah bisa di duga. Ia tetap berusaha mencari sesuatu yang baru. Hingga keputus asaan benar benar ada di dalam dirinya. Ia mulai menyerah pada keadaan. Ia tidak lagi mematuhi aturan dokter dan meminum obat sesuai anjuran. Ia kehilangan kendali atas dirinya sendiri.
Semakin hari kesehatannya semakin buruk. Sampai pada suatu hari, di pagi yang cerah. tiba – tiba terlintas di benaknya untuk mengunjungi kampong halamannya semasa kecil. Ia pergi tanpa memperdulikan kesehatannya dan mungkin ia juga sudah bisa merasakan bahwa tidak lama lagi sesuatu akan terjadi pada dirinya.
Setelah menempuh perjalanan selama lebih kurang 1 jam dengan menggunakan bantuan org dan sepeda bertenaga mesin, akhirnya ia sampai pada tempat tujuannya. Mata nya langsung menuju suatu rumah yang tak jauh berada di depannya. Rumah itu tampak sudah tua, lapuk, berdebu dan lama sudah tak berpenghuni. Kenangan kenangan yang indah pun secara alami melintas di benaknya.
Bernostalgia dengan kenangan kenangan masa kecil tentu sangat indah. Setelah merasa smua cukup baginya. Ia segera menempuh jalan pulang kembali ke rumah. Bagaikan lilin yang hendak padam, maka nyala api akan terasa lebih terang. Begitu pula semangat yang terlihat di dirinya sekarang.
Tepat beberapa minggu setelah kejadian itu di suatu pagi yang cerah dan orang – orang terlihat lagi sibuk. Ayahku menghebuskan nafas terakhir yang di berikan TUHAN padanya. Dia menghembuskannya dengan suatu senyuman yang sangat tulus tanpa beban dan pergi dengan tenang untuk selama lamanya. Dia pergi dengan membawa sejuta kenangan kenangan indah yang ada di dalam dirinya. Aku berpikir mungkinkah ini yang menjadi impian terakhir dari Ayahku. Kalau benar begitu maka ayahku adalah orang yang paling beruntung, di kala penyakit sedang menggrogoti tubuhnya, ia tetap berusaha mewujudkan impiannya dengan sekuat tenaga hingga membuat kami mengerti apa arti di balik senyuman nya yang terakhir. Thank’s my father.
Bagaikan kacang, aku takkan pernah lupa pada kulitku.
-BG-
Hari ini, tepat di tanggal 23 Juni 2009 di hari Selasa yang cerah. Masih tersisa suasana duka yang menghampiri keluarga kami. Benar, Tepat hari ini kami telah melewati seratus hari baru di mana tanpa kehadiran seorang kepala keluarga.
Celana Jeans di padu dengan kaos putih ntah mengapa terasa begitu cocok di pagi itu. Aku segera bergegas menuju kantor tanpa firasat apapun,meskipun pagi itu ada seorang temanku yang telah memberitakan sebuah kabar duka bagiku –salah seorang temannya telah kehilangan orang tua terkasihnya –
“Yah, semua manusia akan kembali ke asalnya, hanya waktu dan usianya saja yang membedakan”, gumanku dalam hati.
Is that’s OK with you.. lantunan lagu dari Shayne Ward terdengar di HP ku. Ternyata Ibuku yang menelepon. Aku segera mengangkatnya. Terdengar suara gemetar di seberang sana. Di saat itu aku sudah bisa menebak sebenarnya apa yang terjadi. Apa yang akan kami lalui kedepannya akan terasa lebih sulit dan berat.
Benar saja, ketika ibu menyampaikan kabar duka itu kepadaku. Bahwa ayah sudah meninggalkan semuanya, kata itu nyaris tak bisa kudengar karena tertutup tangisan ibu.
Saat itu juga, aku segera memanggil taxi dan pulang menuju kampung halamanku. Setibanya aku di rumah sudah kulihat suasana sedih dan duka meliputi keluargaku. Berbalut baju hitam, ibuku duduk di kursi menyambut kepulanganku dengan mata berkaca – kaca.
Aku berusaha untuk tidak menambah kadar kesedihan di rumah kami. “ Ayah sudah beristirahat dengan tenang disana” kata – kata yang keluar dari mulutku, walaupun aku mengucapkannya dengan air mata yang berlinang, Akan tetapi aku percaya akan makna dari kata tersebut.
“Life must go on” begitulah kata yang sering terucap ketika kita berusaha mencari semangat untuk kehidupan setelah badai menghantamnya dengan kuat.
Tiba di hari keempat, dimana puncak kesedihan keluarga kami. Pemakaman akan segera di lakukan. Kami akan mengantar ayah ke tempat peristirahatannya yang terakhir. Jam dinding berputar terlalu cepat menurutku, sehingga pemakaman harus segera di laksanakan.
Suara tangisan dan Airmata terlihat di setiap orang yang mengantarkannya. Aku pun ikut terbawa menangis meskipun jauh di dalam hati aku telah bisa menerima kepulangannya.
Setelah melewati prosesi upacara yang cukup panjang di tambah kondisi tubuh yang melemah, yang kami butuhkan saat itu adalah istirahat.
Seiring berjalannya waktu, kami kembali ke kegiatan kami sehari – hari. Hingga suatu malam aku bermimpi bertemu dengan ayahku. Dia menjumpaiku dengan wajah penuh senyuman. Dimana aku mengerti arti di balik senyuman itu, bahwa dia baik – baik saja.
Bukan hanya satu kali, beberapa kali aku memimpikannya. Aku mensyukuri karena dia tetap menghampiriku dengan senyuman. Bahkan aku merasa ketika dia datang menghampiriku dengan mimpi, itu terjadi seperti kenyataan. Dimana aku bisa berbicara dengannya, aku bisa memegang tangannya. Aku masih bisa merasakan kehadirannya.
Beberapa hari sebelum mengenang seratus hari kepergiannya. Aku masih mendapatkan mimpi yang sama. Mimpi yang penuh dengan sebuah senyuman.
Aku masih berharap bisa mendapatkan mimpi yang sama, yang menjadikan kami sekeluarga bisa mengetahui bahwa Ia berada disana dengan tenang.
IMPIAN TERAKHIR Kau akan meninggalkan dunia dengan wajah penuh seyum akibat sebuah impian.
- BG-
“Impian”…mungkin inilah yang masih membuat dia untuk terus hidup dan bertahan dari segala keadaan yang ada, hingga akhir.
Ayahku hanya seorang pengrajin besi. Dalam satu tahun, ia bekerja hampir setahun penuh. Bahkan tidak pernah berniat meninggalkan kota di mana ia tinggal. Apa yang menjadi tujuan hidupnya? Tak seorang pun tau akan hal itu. Bagi orang lain dan anak kecil sepertiku, mungkin mengganggap wajar hal itu karena ia memiliki keluarga yang harus di hidupinya.
Tetapi, dalam satu tahun terakhir keadaan ayahku berubah 180 derajat. Ia harus rela kehilangan pekerjaannya akibat penyakit yang di deritanya. Pembengkakkan Jantung. Begitulah vonis yang ia terima dari dokter.
Bangun di pagi hari, makan, minum, mandi menjadi aktivitasnya yang baru hanya untuk sekedar menyambung hidupnya. Matanya menatap kosong ke segala sudut di rumah, tetapi tetap keputus asaan yang ada pada dirinya. Untuk meminum obatnya saja dia perlu mengumpulkan secercah harapan pada dirinya.
Walaupun ia tau harapan untuk melihat anak anaknya bahagia adalah hal yang sangat mustahil bagi penderita seperti dia. Tetapi ia tetap tegar di hadapan kami, anak – anaknya. Ia tidak mau membebani pikiran dan hati kami. Hari – hari selanjutnya menjadi semakin sulit akibat ia mulai kehilangan fungsi tubuhnya. Ia mulai mengalami penurunan berat badan yang drastis.
Hingga suatu hari, ia memutuskan untuk meninggalkan kota di mana ia tinggal dan pergi ke kota lain untuk menemukan semangatnya yang baru. Ia menjalani hari – hari yang baru dengan kegiatan yang baru juga. Aku melihat ada secercah semangat di dalam dirinya. Baguslah pikiru.
Hal itu juga tidak berlangsung lama. Ia kembali ke kota asalnya dimana ia tinggal, Ia kembali dengan semangat baru. Tetapi tidak bagiku. Aku lebih suka menganggapnya “ pelarian “karena dia tidak mampu untuk hidup lebih lama lagi di dalam harapan “ kosong “ dan memilih untuk menghadapi hidupnya dengan sisa – sisa semangatnya.
Kembali ke aktivitas yang membosankan sudah bisa di duga. Ia tetap berusaha mencari sesuatu yang baru. Hingga keputus asaan benar benar ada di dalam dirinya. Ia mulai menyerah pada keadaan. Ia tidak lagi mematuhi aturan dokter dan meminum obat sesuai anjuran. Ia kehilangan kendali atas dirinya sendiri.
Semakin hari kesehatannya semakin buruk. Sampai pada suatu hari, di pagi yang cerah. tiba – tiba terlintas di benaknya untuk mengunjungi kampong halamannya semasa kecil. Ia pergi tanpa memperdulikan kesehatannya dan mungkin ia juga sudah bisa merasakan bahwa tidak lama lagi sesuatu akan terjadi pada dirinya.
Setelah menempuh perjalanan selama lebih kurang 1 jam dengan menggunakan bantuan org dan sepeda bertenaga mesin, akhirnya ia sampai pada tempat tujuannya. Mata nya langsung menuju suatu rumah yang tak jauh berada di depannya. Rumah itu tampak sudah tua, lapuk, berdebu dan lama sudah tak berpenghuni. Kenangan kenangan yang indah pun secara alami melintas di benaknya.
Bernostalgia dengan kenangan kenangan masa kecil tentu sangat indah. Setelah merasa smua cukup baginya. Ia segera menempuh jalan pulang kembali ke rumah. Bagaikan lilin yang hendak padam, maka nyala api akan terasa lebih terang. Begitu pula semangat yang terlihat di dirinya sekarang.
Tepat beberapa minggu setelah kejadian itu di suatu pagi yang cerah dan orang – orang terlihat lagi sibuk. Ayahku menghebuskan nafas terakhir yang di berikan TUHAN padanya. Dia menghembuskannya dengan suatu senyuman yang sangat tulus tanpa beban dan pergi dengan tenang untuk selama lamanya. Dia pergi dengan membawa sejuta kenangan kenangan indah yang ada di dalam dirinya. Aku berpikir mungkinkah ini yang menjadi impian terakhir dari Ayahku. Kalau benar begitu maka ayahku adalah orang yang paling beruntung, di kala penyakit sedang menggrogoti tubuhnya, ia tetap berusaha mewujudkan impiannya dengan sekuat tenaga hingga membuat kami mengerti apa arti di balik senyuman nya yang terakhir. Thank’s my father.