Selasa, 23 Juni 2009

One Hundred Day's

One Hundred Day’s

Bagaikan kacang, aku takkan pernah lupa pada kulitku.

-BG-

Hari ini, tepat di tanggal 23 Juni 2009 di hari Selasa yang cerah. Masih tersisa suasana duka yang menghampiri keluarga kami. Benar, Tepat hari ini kami telah melewati seratus hari baru di mana tanpa kehadiran seorang kepala keluarga.

Celana Jeans di padu dengan kaos putih ntah mengapa terasa begitu cocok di pagi itu. Aku segera bergegas menuju kantor tanpa firasat apapun,meskipun pagi itu ada seorang temanku yang telah memberitakan sebuah kabar duka bagiku – salah seorang temannya telah kehilangan orang tua terkasihnya –

“Yah, semua manusia akan kembali ke asalnya, hanya waktu dan usianya saja yang membedakan”, gumanku dalam hati.

Is that’s OK with you.. lantunan lagu dari Shayne Ward terdengar di HP ku. Ternyata Ibuku yang menelepon. Aku segera mengangkatnya. Terdengar suara gemetar di seberang sana. Di saat itu aku sudah bisa menebak sebenarnya apa yang terjadi. Apa yang akan kami lalui kedepannya akan terasa lebih sulit dan berat.

Benar saja, ketika ibu menyampaikan kabar duka itu kepadaku. Bahwa ayah sudah meninggalkan semuanya, kata itu nyaris tak bisa kudengar karena tertutup tangisan ibu.

Saat itu juga, aku segera memanggil taxi dan pulang menuju kampung halamanku. Setibanya aku di rumah sudah kulihat suasana sedih dan duka meliputi keluargaku. Berbalut baju hitam, ibuku duduk di kursi menyambut kepulanganku dengan mata berkaca – kaca.

Aku berusaha untuk tidak menambah kadar kesedihan di rumah kami. “ Ayah sudah beristirahat dengan tenang disana” kata – kata yang keluar dari mulutku, walaupun aku mengucapkannya dengan air mata yang berlinang, Akan tetapi aku percaya akan makna dari kata tersebut.

“Life must go on” begitulah kata yang sering terucap ketika kita berusaha mencari semangat untuk kehidupan setelah badai menghantamnya dengan kuat.

Tiba di hari keempat, dimana puncak kesedihan keluarga kami. Pemakaman akan segera di lakukan. Kami akan mengantar ayah ke tempat peristirahatannya yang terakhir. Jam dinding berputar terlalu cepat menurutku, sehingga pemakaman harus segera di laksanakan.

Suara tangisan dan Airmata terlihat di setiap orang yang mengantarkannya. Aku pun ikut terbawa menangis meskipun jauh di dalam hati aku telah bisa menerima kepulangannya.

Setelah melewati prosesi upacara yang cukup panjang di tambah kondisi tubuh yang melemah, yang kami butuhkan saat itu adalah istirahat.

Seiring berjalannya waktu, kami kembali ke kegiatan kami sehari – hari. Hingga suatu malam aku bermimpi bertemu dengan ayahku. Dia menjumpaiku dengan wajah penuh senyuman. Dimana aku mengerti arti di balik senyuman itu, bahwa dia baik – baik saja.

Bukan hanya satu kali, beberapa kali aku memimpikannya. Aku mensyukuri karena dia tetap menghampiriku dengan senyuman. Bahkan aku merasa ketika dia datang menghampiriku dengan mimpi, itu terjadi seperti kenyataan. Dimana aku bisa berbicara dengannya, aku bisa memegang tangannya. Aku masih bisa merasakan kehadirannya.

Beberapa hari sebelum mengenang seratus hari kepergiannya. Aku masih mendapatkan mimpi yang sama. Mimpi yang penuh dengan sebuah senyuman.

Aku masih berharap bisa mendapatkan mimpi yang sama, yang menjadikan kami sekeluarga bisa mengetahui bahwa Ia berada disana dengan tenang.

In memorie – 100 day’s my father –

: )=

2 komentar:

  1. Yang tabah & sabar ya gus....

    nice blog..keep it up!!


    GBU


    b3n-novelius.blogspot.com / sapi

    BalasHapus
  2. hahahhahahhhaa...
    Thx, Thx..
    Ne blog pun bisa ada karena kalian ma yang ajarin w..
    wkakakkakakkaa

    BalasHapus